Jakarta, 23 Agustus 2024 — Seiring meningkatnya permintaan global terhadap
makanan laut, akuakultur kini menjadi alternatif penting bagi perikanan
tradisional dan sumber mata pencaharian bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Namun, praktik akuakultur yang tidak berkelanjutan dan eksploitasi berlebihan
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius, mengancam sumber daya
alam dan keanekaragaman hayati. Tantangan ini, meskipun sering diabaikan,
berpotensi mengancam keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan ekonomi.
Serupa dengan
eksploitasi berlebihan dalam praktik perikanan tradisional, penggunaan sumber
daya terbarukan—seperti tumbuhan, hewan, hutan, ikan, dan invertebrata
laut—dapat melebihi kapasitas alam untuk pulih. Ancaman ini sebanding
dengan polusi, spesies invasif, dan
kerusakan habitat, serta berdampak pada ekonomi komunitas lokal (Britannica: N.D). Dampak ini tidak
hanya memengaruhi populasi ikan tetapi juga sumber daya laut lainnya seperti
rumput laut, garam laut, udang, dan kepiting, menyebabkan ketidakseimbangan
ekosistem dan kerugian ekonomi. Oleh karena itu, fokus pada budidaya rumput
laut, udang, dan kepiting secara berkelanjutan sangat penting untuk melindungi
sumber daya ini untuk generasi mendatang.
Sarah Harding, Head of Sector Aquatic
Resources KOLTIVA, menjelaskan bahwa eksploitasi berlebihan dalam
akuakultur dapat merusak keberlanjutan ekosistem laut. Beberapa dampak yang
dapat terjadi meliputi:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
1.
Panen Berlebih: Penebaran ikan
dalam jumlah berlebihan dalam kolam atau tangki dapat menyebabkan penurunan
populasi dengan cepat dan merusak kesehatan spesies yang dibudidayakan.
Pemanenan yang terlalu sering tanpa memberikan waktu yang cukup untuk
pertumbuhan dan reproduksi dapat mengurangi populasi dan menurunkan keragaman
genetik.
2.
Stres Lingkungan: Budidaya yang
intensif dapat memberikan tekanan besar pada lingkungan, seperti polusi air dan
perusakan habitat. Masalah ini berdampak pada kesehatan dan produktivitas
spesies yang dibudidayakan.
3.
Penyakit dan
Kematian:
Kepadatan penebaran yang tinggi serta stres akibat pemanenan berlebihan dapat
meningkatkan kerentanan hewan terhadap penyakit, yang akhirnya dapat menambah
tingkat kematian dan menurunkan produktivitas.
4.
Pengurasan Sumber
Daya:
Permintaan tinggi terhadap spesies tertentu sering kali mendorong praktik yang
tidak berkelanjutan. Fokus sering kali bergeser ke hasil jangka pendek daripada
mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang.
Optimalisasi
Akuakultur dengan Teknologi Ketertelusuran Modern
KOLTIVA berkomitmen untuk mentransformasi industri
akuakultur dengan solusi teknologi yang meningkatkan transparansi,
keberlanjutan, dan produktivitas. Dengan penerapan sistem ketertelusuran
seperti KoltiTrace MIS, perusahaan dapat mengadopsi praktik berkelanjutan yang lebih
transparan, melestarikan ekosistem, dan memaksimalkan manfaat ekologis serta
ekonomi dari produksi akuakultur.
Kemajuan teknologi
memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan
akuakultur. Remote Sensing dan kode QR adalah alat penting yang
memungkinkan pemantauan dan pengelolaan operasi akuakultur dengan lebih baik.
Remote Sensing
Remote Sensing jauh melibatkan pengumpulan data dari kejauhan
menggunakan sensor untuk menyediakan informasi komprehensif tentang berbagai
sistem di Bumi. Teknologi ini mendukung pn jakaraengambilan keputusan yang
lebih baik dengan memanfaatkan kondisi saat ini dan masa depan bumi kita (Earth Data: N.D). Dalam akuakultur, Remote
Sensing memungkinkan pemantauan real-time,
melakukan prediksi untuk pertumbuhan ikan, serta deteksi ledakan pertumbuhan
alga berbahaya dan ancaman lingkungan sehingga dapat meningkatkan produktivitas
dan keberlanjutan (MDPI: 2023).
Fariz Kukuh Harwinda, Product Portfolio and
Engagement Manager KOLTIVA,
menyebutkan bahwa fitur Remote Sensing dapat mengintegrasikan berbagai
sumber data, termasuk zonasi pesisir pemerintah dan pemetaan plot. “Dengan
menggabungkan data dari zonasi pemerintah dan zonasi pesisir ke dalam sistem
KoltiTrace MIS, kami dapat menelusuri transaksi, mengidentifikasi asal-usul, profil
produsen, dan memastikan kepatuhan dengan zonasi akuakultur pemerintah,” kata
Kukuh.
Didi Adisaputro, Head of Geospatial, Climate, and IOT KOLTIVA, menjelaskan bahwa
teknologi Remote Sensing dapat memantau laut dan menghitung potensi
produksi secara akurat. “Remote Sensing memungkinkan kami untuk
memantau kolam dan mendeteksi hilangnya habitat. Teknologi ini juga dapat memantau kondisi
di bawah air untuk melihat distribusi terumbu karang dan rumput laut,” tambah
Didi.
Kode QR
Kode QR telah
terbukti efektif dalam penelusuran peralatan, manajemen inventaris, dan
memberikan informasi rinci kepada konsumen tentang produk hasil laut. Teknologi
ini mendukung transparansi dan upaya advokasi terkait isu lingkungan dengan
meningkatkan kemampuan ketertelusuran. Kukuh menyebutkan bahwa kode QR
diterapkan dalam proyek akuakultur rumput laut dan udang di KOLTIVA. “Kode QR
memfasilitasi transparansi dan akuntabilitas dalam praktik budidaya, dengan
data yang dibatasi oleh batasan hukum dan memerlukan persetujuan dari pihak
terkait,” ujarnya.
Dengan pengalaman
lebih dari 10 tahun dalam mendukung perusahaan multinasional di lebih dari 61
negara, KOLTIVA terus berkomitmen untuk memenuhi beragam kebutuhan industri
akuakultur. Dalam sektor sumber daya perairan atau aquatic resources, KOLTIVA mendukung klien dalam praktik akuakultur
berkelanjutan di beberapa negara termasuk Indonesia, Filipina, dan Madagaskar
dengan lebih dari 6.000 produsen dan 100 usaha kecil menengah yang yang terdaftar.
Komitmen ini bertujuan untuk memastikan bahwa praktik bisnis yang bertanggung
jawab dapat berjalan berdampingan dengan perkembangan bisnis dan penjagaan
terhadap masa depan bumi.
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES