Koran Mandalika, Mataram – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak membahas maraknya kasus pelecehan seksual di Lombok. Pertemuan digelar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram pada Selasa (29/4).
Beberapa pihak yang hadir diantaranya, Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, UPTD PPA provinsi NTB, UPTD PPA Lombok Barat, dan Dinas Sosial.
Perwakilan Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, Yan Mangandar Putra mengatakan selain pertemuan dengan pihak terkait, Komnas HAM juga menemui korban dari kasus “Walid” Lombok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pihak Komnas HAM juga sudah bertemu dengan empat korban dari kasus walid Lombok ini,” kata Yan.
Yan mengungkapkan Komnas HAM turun untuk menggali informasi terkait fenomena kekerasan seksual ini.
“Hal yang digali dari tahapan proses bagaimana kasus ini terungkap sampai dengan upaya perlindungan apa yang sudah dilakukan aliansi bersama dengan pemerintah tadi,” ujar Yan.
Selain kasus “Walid Lombok” yang viral, Komnas HAM juga menyoroti kasus kekerasan yang sebelumnya terjadi di salah satu pondok pesantren di Lombok Barat.
“Komnas HAM juga mendalami kasus sebelumnya atas nama korban NI yang meninggal di pondok pesantren AA di Lombok Barat itu,” ucapnya.
Yan mengaku heran dengan maraknya kasus-kasus kekerasan seksual, terutama di Lombok.
“Tadi sangat banyak masukan ya, terutama dari teman-teman aliansi karena memang cukup dalam sekali teman-teman dari Komnas HAM menggali karena ini fenomena yang aneh ya. Kenapa, kok, kekerasan seksual begitu marak, terutama di Pulau Lombok,” ungkapnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram Hilman Syahrial menyayangkan peristiwa ini.
Hilman menyampaikan keprihatinannya atas kasus-kasus serupa yang sudah banyak menimpa pondokpesantren.
“Ini juga sangat memprihatinkan buat kita. Sekarang animo masyarakat itu cukup tinggi untuk memasukkan anak-anak mereka ke pondok pesantren atau ke sekolah yang memiliki integrasi kurikulum agama dan konvensional. Nah, di saat animo tinggi, sangat kita sayangkan kasus tersebut terjadi. Semoga kasus ini bisa tuntas agar dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat,” kata Hilman.
Hilman juga mengharapkan agar dibentuk satuan tugas (satgas) di pondok pesantren agar mencegah terjadinya kasus-kasus seperti ini.
“Kami di pergurguruan tinggi, kan, sudah ada satgasnya ya. Kami harapkan juga dibentuk di berbagai pondok pesantren gitu,” harapnya.
Menurutnya, tata kelola juga menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan. Seperti halnya pondok pria dan wanita harus dibedakan kepengurusannya.
Dengan begitu, santri dan santriwati di ponpes dapat berinteraksi hanya dengan sesamanya.
“Tadi kami wacanakan pondok pesantren itu kalau pondok putri pengelola ya putri gitu, yang laki pengelolanya ya laki. Karena ini kan ya mereka akan berkehidupan lama di situ kan, berinteraksi dan seterusnya. Sehingga harapan kami mereka berinteraksi sesuai dengan gender-nya saja,” pungkasnya. (dik)