Koran Mandalika, LombokTengah – Beberapa hari ini jagat NTB—baik media sosial maupun diskusi warung kopi—diramaikan oleh polemik cabang “Miss Glamour” dalam Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII.
Kritik datang bertubi-tubi, dan sayangnya, banyak yang langsung menembakkan tudingan ke arah Gubernur NTB.
Tapi mari kita jernih. FORNAS adalah agenda nasional, diselenggarakan oleh Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (KORMI) Nasional. Semua cabang olahraga, termasuk yang dianggap kontroversial, ditentukan oleh KORMI pusat bersama induk organisasinya. Gubernur NTB tidak memiliki kewenangan menentukan, menyaring, apalagi menolak cabang tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gubernur hanya berperan sebagai tuan rumah administratif. Tapi di tengah suasana politik yang mulai menghangat, momen ini dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk menggiring opini dan menyerang secara personal.
Yang lebih memprihatinkan, kritik yang semestinya proporsional, justru berubah menjadi penghakiman moral besar-besaran. Misglamour disebut sebagai simbol kemerosotan, mencoreng “Pulau Seribu Masjid”, merusak akhlak santri, bahkan disebut menodai marwah pondok pesantren dan alim ulama di NTB.
Namun mari kita bertanya dengan jujur:
Jika benar Misglamour dianggap mencoreng kesucian NTB sebagai Pulau Seribu Masjid, kenapa kemarahan serupa tidak diarahkan pada peredaran minuman keras, tempat hiburan malam, atau busana wisatawan asing yang kadang sangat terbuka? Kenapa kita diam saat LC (Ladies Companion) bebas beroperasi di jantung Kota Mataram? Kenapa kita tidak pernah menuntut pengaturan ketat terhadap busana wisatawan asing yang berjalan di pantai atau pusat kota?
Apakah moralitas kita hanya aktif jika yang tampil perempuan lokal yang berhias dan tampil di panggung lomba? Apakah kesalehan sosial kita hanya hidup dalam momentum viral?
Kita tidak menafikan bahwa sebagian orang merasa tidak nyaman melihat Misglamour. Tapi menilai satu kegiatan di ruang tertutup, di wilayah hotel dan zona pariwisata, sebagai ancaman moral besar sementara kita membiarkan praktik-praktik haram lain berlangsung tiap malam, jelas merupakan bentuk kemunafikan publik yang harus kita sadari bersama.
Jika benar kita ingin menjaga marwah keislaman NTB, maka konsistensilah yang harus ditegakkan: tutup semua tempat hiburan malam, basmi peredaran alkohol, atur busana wisatawan asing, dan bersihkan kota dari praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai agama. Tapi, beranikah kita?
Atau jangan-jangan, kita hanya berani marah saat yang tampil berbeda dan mudah dijadikan kambing hitam?
Saya bukan sedang membela Gubernur. Saya membela akal sehat publik. Jangan karena satu event, lalu semua kebaikan daerah ini ditiadakan. Dan jangan pula karena benci, kita sembarang tuding orang yang tak bersalah.
Kalau memang cabang seperti Misglamour perlu dievaluasi, mari kita dorong KORMI pusat untuk lebih bijak. Tapi jangan bawa-bawa Gubernur dalam pusaran isu yang bukan wewenangnya. Ini bukan soal politik, ini soal kejujuran publik.
Mari kita waras bersama. Kritik itu penting. Tapi lebih penting lagi, jujur pada standar kita sendiri.
Apriadi Abdi Negara, Pemerhati Hukum









