Koran Mandalika, Mataram – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI bersama Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) NTB terus berupaya mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik dan hukum melalui strategi Pengarustamaan gender (PUG).
PUG merupakan strategi pembangunan untuk memastikan bahwa Perempuan dan laki-laki serta kelompok inkulsi lainnya memiliki akses yang setara dan kesempatan yang sama dalam semua aspek pembangunan. Antara lain, ekonomi, Pendidikan, kesehatan, kebijakan publik, termasuk partisipasi politik.
Perencana Ahli Madya pada Aseep PUG Bidang Politik dan Hukum Kemen PPPA RI Merry Mardina, S.Sos., M.I.Kom mengatakan pelaksanaan strategi PUG dengan mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral mulai dari perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pelaporan atas kebijakan dan program pembangunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“PUG juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam pencapaian target SDG’s 2030 yang secara tegas menetapkan prinsip “no one left behind”,” kata Merry saat menyampaikan materi bimtek di Mataram, Selasa (17/9).
Hal ini, kata Merry, berarti akan membawa konsekuensi bahwa hasil pembangunan di setiap negara harus dapat memastikan bahwa semua kelompok masyarakat (laki-laki, perempuan, anak, disabilitas, lansia, dan kelompok lainnya) terlibat dan
merasakan manfaat pembangunan.
Salah satu target/goal’s dari SDG’s yaitu goal ke-5 bahwa secara jelas dan tegas menyebutkan pentingnya setiap megara menempatkan PUG dan pemberdayaan perempuan menjadi salah satu goal’s yang akan dicapai.
“Menjamin partisipasi penuh dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam semua sektor pembangunan seperti politik dan ekonomi,” ujar Merry.
Menurut Merry, kesetaraan gender di bidang politik dan hukum merupakan pilar penting dalam mewujudkan demokrasi yang inklusif dan keadilan bagi semua warga negara.
“Kita semua menyadari bahwa partisipasi aktif perempuan dalam politik dan hukum tidak hanya memperkaya proses pengambilan keputusan, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kepentingan seluruh lapisan masyarakat,” papar Merry.
“Namun, realitas yang kita hadapi menunjukkan bahwa partisipasi
perempuan dalam politik dan hukum masih belum optimal,” ucap Merry menambahkan.
Hambatan struktural, budaya patriarki, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama.
Seperti contohnya, kepemimpinan perempuan di Indonesia masih mengalami banyak kendala dan rintangan. Hal ini dapat terlihat salah satunya adalah dari keterwakilan perempuan dalam politik dan jabatan publik dan keterwakilan perempuan di legislatif masih rendah.
Pada Pemilu 2019 berdasarkan hasil pemilu keterwakilan perempuan di lembaga legislatif nasional (DPR RI) masih sebesar 20,5% atau hanya terdapat 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI.
Kemudian, sedikit meningkat pada pemilu 2024 menjadi 128 orang atau 22,1 % (sumber; Perludem). Pencapaian di tingkat provinsi masih belum menggembirakan yaitu hanya 19% atau hanya ada 446 anggota legislatif Perempuan dari 2.372 anggota DPRD Provinsi se-Indonesia.
Sementara, keterwakilan perempuan di DPRD kab/kota lebih tinggi dari capaian provinsi yaitu 3% atau terdapat 152 anggota legislatif Perempuan dari total sebanyak 17.610 anggota DPRD kab/kota se-Indonesia.
“Namun, perlu diapresiasi perwakilan perempuan di DPD yang telah mencapai Angka 37%,” jelas Merry.
Masih minimnya kepemimpinan perempuan tidak hanya terjadi di lembaga legislatif. Di Lembaga eksekutif, jumlah menteri perempuan menurun dalam kabinet 2019-2024 (dari 21% menjadi 13,15%). Demikian pula presentase kepemimpinan perempuan di daerah pada tahun 2018 yang masih kecil.
Menurut data, hanya terdapat 3% gubernur perempuan, 9% wakil gubernur perempuan, 9% bupati/walikota perempuan, dan 7% wakil bupati/walikota perempuan.
Pada tahun 2018, perempuan pejabat struktural pada level eselon II hanya mencakup sekitar 13% dan 16,58% pada level eselon I.
Perempuan juga belum banyak berkiprah sebagai kepala desa. Presentase perempuan kepala desa seluruh Indonesia hanya mencakup 5% dari 71.447 kepala desa.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam berbagai kebijakan dan program pembangunan.
“Namun, kita semua menyadari bahwa kebijakan yang baik saja tidak cukup. Diperlukan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat untuk memastikan
bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender dapat diimplementasikan secara efektif di lapangan,” tutur Merry.
Diakui, Kemen PPPA juga sudah melakukan beberapa upaya dalam
mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik dan hukum:
1. Pada 2020-2024 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama Swakelola Tipe 3 dengan Institut KAPAL Perempuan, PEKKA, KPI, dan PPSW melaksanakan Program Prioritas Nasional yaitu Bimtek Kepemimpinan Perempuan Perdesaan target sasaran Perempuan-Perempuan Potensial Perdesaan (Akar Rumput) di 34 Provinsi dan 89 Kabupaten.
Bimtek ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan perempuan perdesaan yang memiliki kesadaran kritis dan komitmen untuk mendorong perubahan desa dalam penanganan isu-isu gender.
Dengan Bimtek ini diharapkan perempuan semakin berdaya sehingga dapat menjawab tantangan masalah-masalah ketidakadilkan gender yang terjadi pada perempuan dan anak, seperti kekerasan, perkawinan anak, stunting, rendahnya penghasilan perempuan, minimnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, rendahnya akses terhadap perlindungan sosial dan
lain-lain.
2. Memiliki Program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), yaitu desa yang mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, berkelanjutan sesuai dengan visi pembangunan Indonesia.
Di mana ada 33 Provinsi, 70 Kabupaten dan 143 desa yang menjadi pilot project. Ada 10 Indikator dalam mewujudkan DRPPA tersbut salah satunya
tentang keterwakilan perempuan dilevel desa.
3. Kementerian PP dan PA memperkuat Peraturan Hukum Parameter Kesetaraan Gender (Permen PPPA No.6 Tahun 2023 Tentang Parameter Kesetaraan Gender dalam Peraturan PerUUan dan Instrumen Hukum lainnya) yaitu membantu untuk memastikan bahwa isu Gender telah menjadi perhatian dan pertimbangan dalam seluruh tahapan pembentukan dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan dan Instrumen Hukum Lainnya.
Selain ketiga kegiatan di atas, kementerian PPPA memahami bahwa upaya mewujudkan kesetaraan gender hanya dapat diwujudkan melalui dukungan Kerjasama dari berbagai pihak pentahelix, termasuk dalam hal ini adalah Lembaga Masyarakat.
Oleh karena itu, dalam tahun anggaran 2024 ini Kementerian PPPA telah menyiapkan kegiatan Bimtek Pelaksanaan Kebijakan Partisipasi Masyarakat dalam Kesetaraan Gender yang diikuti oleh Lembaga Masyarakat.
Eksistensi Lembaga masyarakat yang berada di Tengah Masyarakat akan secara efektif mengedukasi masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender.
“Melalui kegiatan bimtek ini kita mengharapkan akan semakin memperkuat partisipasi masyarakat, khususnya perempuan, dalam bidang politik dan hukum,” kata Merry. (wan)